panganjali umat

Om Swastyastu
Om Awighanam Astu Nama Siddham
Om Ano Badrah Kratawo Yantu Wiswatah ya Namah Swaha

Kawitan Warga Sari


Makna Saraswati dan Kawitan Wargasari
Oleh: IN. Ardana


Om Swastyastu,
Kita sering menyebut Saraswati sebagai Sang Hyang Aji Saraswati. Aji itu berasal dari Bahasa Kawi yang artinya ilmu. Maka, orang belajar disebut dengan mengaji atau pengajian. Beliau diwujudkan sebagai Dewi atau kalau saudara-saudara kita di India menyebut-Nya sebagai Ibu, Ibu Dewi Saraswati. Beliau adalah sakti dari Dewa Brahma, Tuhan sebagai sang pencipta.
Pertama saya ingin menyampaikan apa yang dimaksud dengan sakti. Sakti itu bukan berarti istri, seperti yang kita pahami. Sakti itu artinya kekuatan atau energi. Dalam konsep Hindu, purusa atau kesadaran itu dilambangkan sebagai laki-laki, dan pradana atau prakerti itu dilambangkan sebagai wanita. Purusa atau kesadaran (awareness) itu seperti pemberi benih, sedangkan yang mengandung dan melahirkan kita semua itu adalah ibu, yang diwujudkan dengan tiga ibu, yaitu Ibu Saraswati, Ibu Laksmi dan Ibu Durga. Beliaulah perwujudan dari kemahakuasaan dan kesaktian kekuatan Tuhan yang kita terima di semesta ini.
Kemudian apa arti kata Saraswati? Saraswati itu terdiri dari tiga kata, Sara, Swa dan Ti. Sara itu berati Ia yang menganugrahkan inti sari dan hakekat. Swa itu berarti diri kita yang sejati, dan Ti itu berarti ia yang mengetahui. Jadi, Saraswati adalah Ia yang mengetahui kemudian menganugrahkan pengetahuan tentang hakekat diri yang sejati.
Ibu Dewi Saraswati disimbolkan sebagai wanita yang sangat cantik, sangat anggun, bertangan empat, dan berdiri di atas bunga teratai berwarna putih. Jadi, apa yang dimaksud dengan perlambang itu? Perlambang itu sebenarnya mengandung pesan tentang Saraswati, yaitu ilmu pengetahuan. Di sana dikandung pesan tentang bagaimana cara kita untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, cara kita belajar, dan apa yang kita dapatkan setelah kita mendapatkan pengetahuan.
Saya akan mengupas penafsiran perlambang Ibu Dewi Saraswati. Pertama yang paling tinggi dibawa adalah genitri. Genitri itu adalah lambang pemujaan atau alat untuk japa sebagai sarana untuk selalu mengingat Tuhan. Jadi, itu lah yang paling utama yang harus kita pegang dalam belajar, karena itu lah yang membawa ke arah mana kita harus melangkah. Kemudian yang kedua adalah buku, itu lambang dari pengetahuan. Pengetahuan tanpa bakti atau iman tidak akan berguna, bahkan bisa berbahaya jika pengetahuan tanpa rasa bakti. Maka harus ada rasa bakti kemudian ada pengetahuan. Tapi itu saja tidak cukup. Ketiga, tangan beliau memegang Wina, yaitu alat musik. Alat musik melambangkan keindahan, harmoni, dan keserasian. Itu juga melambangkan hati dan rasa. Mungkin ada orang berpengetahuan bagus memuja Tuhan, namun hatinya kering maka itu juga akan menjadi hampa karena hubungan bakti itu adalah hubungan cinta dengan Tuhan terkait dengan rasa. Untuk melengkapkan itu kita wujudkan dengan segala bentuk seni dan juga keindahan. Apakah itu puisi, gemelan, banten rangkaian bunga dan janur yang sangat indah.
Itu semua perwujudan rasa bakti kita dan ini juga tercantum dalam ilmu Psikologi modern yang kita sebut dengan IQ (Intelligent Quotient) atau kecerdasan otak. Ternyata IQ saja tidak cukup perlu didukung dengan EQ (Emotional Quotient) emosional atau perasaan. Walaupun kita pintar namun tidak bisa bergaul dan berempati, ternyata tidak berguna. Kemudian yang terakhir itu adalah SQ (Spiritual Quotient). Jadi, walaupun IQ dan EQ ada tanpa rasa bakti kepada Tuhan itu juga menjadi tidak lengkap. Jadi, Ibu Dewi Saraswati membawa ketiga pesan IQ, EQ, dan SQ.
Itu caranya kemudian ini hasilnya. Kita bisa lihat di dalam perwujudan Ibu Dewi Saraswati, di bawah-Nya itu ada burung merak yang melambangkan keagungan dan keindahan. Pribadi yang bisa menempuh ketiganya (IQ, EQ, dan SQ) itu dengan seimbang adalah pribadi yang agung, mulia dan indah. Kemudian ada angsa sebagai lambang kebijaksanaan. Orang yang benar-benar memahami hal ini akan menjadi orang yang bijaksana. Yang paling penting adalah teratai putih, yaitu adalah lambang kemurnian. Jadi, orang yang bisa dengan benar menempuh pendidikan untuk mendapatkan jnana atau wid jnana seperti yang dikatakan Bapak Ketua Parisadha, akan menjadi murni. Walaupun Dia berasal dari Lumpur kehidupan, tapi Dia menjadi murni dan menjadi suci, itu lah pesan yang dibawa oleh perlambang Ibu Dewi Saraswati.
Jadi, setiap kita melihat perlambang ibu saraswati maka semoga pesan-pesan itu terlintas dalam benak kita dan kita mulai bertekad untuk menyelidiki cara kita belajar apakah sudah ingat kepada Hyang Widhi, apakah sudah kita bersosialisasi juga mengasah rasa dan perasaan. apakah kita sudah belajar dengan benar.
Pada malam Saraswati biasanya dilanjutkan dengan malam sastra yang bisa diwujudkan dengan pembacaan dan pengupasan kitab-kitab sastra. Jaman dulu para sesepuh atau para rsi kita di Bali memuja Tuhan selalu dengan jalan keindahan. Maka, kenapa pura-pura itu seperti pura uluwatu yang letaknya di ujung batu karang dan bila kita lihat ke bawah begitu dalam sekali dan apabila kita melihat ke depan, terhampar laut yang sedemikian luas. Belum kita sembahyang, kita sudah merasakan betapa kecilnya kita di depan Tuhan, betapa besarnya Sang Maha Pencipta. Itu lah tujuannya kenapa pura-pura dibangun di tempat-tempat seperti itu.
Kemudian Para Rsi benar-benar mabuk kepada Tuhan. Dari kemabukan itu lahir lah banyak karya sastra. Salah satu sastra yang paling populer yang setiap saat kita ucapkan ketika mau sembahyang adalah Wargasari. Wargasari itu biasa kita awali dengan Kawitan Wargasari. Kawitan itu artinya asal mula bagaimana proses penciptaan Wargasari itu. Warga itu artinya anggota dan sari itu artinya bunga. Jadi, Wargasari adalah kumpulan bunga cinta kita kepada Tuhan. Wargasari itu sendiri menggunakan Basa Bali, jadi bisa kita mengerti. Tapi Kawitan Wargasari menggunakan bahasa Jawa Kuno yang mungkin ada dari kita belum mengetahui arti dari Kawitan Wargasari.
Saya ingin mengupas makna tentang Kawitan Wargasari, sebagai penghargaan kita kepada sang kawi yang telah menciptakan Wargasari itu. “Purwakaning angripta rum.” Purwa itu artinya asal mula, angripta itu menciptakan, dan rum itu berarti keharuman. Jadi, asal mula ketika menciptakan keharuman itu adalah berupa Wargasari. “Ning wana ukir.” Ning itu berarti di, wana itu adalah hutan, dan ukir berarti gunung. Jadi, Wargasari ini diciptakan di hutan pegunungan. “Kahadang labuh,” artinya bertepatan dengan. “Kartika panadenging sari.” Kartika itu artinya bertepatan dengan sasih Kartika, sasih Kapat itu adalah bulan Oktober. “Panadenging sari” itu artinya ketika musim bunga tiba. Jadi, hari itu adalah musim bunga. “Angayon tanguli ketur.” Jadi, mengayon bunga tangguli dan bunga ketur. Bunga tersebut seperti bunga-bunga rumput. “Angring-ring jangga mure.” Jadi, tandan bunga mure itu bergoyang ditiup angin. Jadi ketika bulan kartika atau musim bunga di pegunungan, diciptakan lah Kawitan Wargasari.
“Sukania arja winagun.” Artinya rasa bahagia itu terbangun. “Winarna sari” artinya karena ada berbagai bunga di sekitar kita. “Rumruning puspa priyaka,” artinya bau mengharum dari bunga puspa priyaka. Bunga priyaka mungkin seperti bunga cempaka yang baunya harum. “Ingioling tangi.” Ingol itu artinya melilit, ing itu artinya di, dan tangi itu artinya pohon tangi. Jadi, bunga kartika yang harum ini melilit di pohon tangi. “Sampuning riris sumawo,” artinya setelah hujan gerimis jatuh. “Munggwing srengge ring rejeng,” Artinya bertebaran di punggung bukit.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa suasananya sedemikian indah. Kita bisa bayangkan pada saat kita mengucapkan Kawitan Wargasari, sambil mata tertutup kita membayangkan berada di pegunungan menghirup udara sejuk dan bersih, bunga-bunga bermekaran di mana-mana. Begitu indahnya pemandangan dan keindahan alam, sehingga kita langsung membayangkan betapa jauh lebih indah lagi yang menciptakan keindahan itu, Hyang Widhi.
Semoga mulai nanti kalau kita ucapkan Kawitan Wargasari dengan penuh penghayatan sambil mata tertutup dan ini akan membawa suasanya yang khidmad pada saat kita sembahyang. Maka sebaiknya pada saat Ida Pedanda atau Ida Sulinggih memuja, menghaturkan upakara, marilah kita bersama-sama untuk me-Wargasari, daripada ngobrol. Sehingga pada saat Tirta pengelukatan di-ketisin/dipercikkan ke badan kita, kita bisa mulai sembahyang dengan rasa tentram dan tenang. Semoga apa yang saya sampaikan pada kesempatan ini bisa berguna bagi kita semua.
Om Santih, Santih, Santih, Om.